Perlawanan Orang Katobengke Terhadap Hegemoni Elite Tradisional di Kota Baubau Sulawesi Tenggara
Orang Katobengke merupakan salah satu subetnik Buton yang berada di wilayah Kota Baubau Sulawesi Tenggara. Menurut tradisi lisan yang berkembang di kalangan elite tradisional, mereka adalah migran dari kampung Laboora pulau Muna yang dibawa oleh Sultan Buton pertama, Murhum pada akhir abad ke-17. Wilayah kekuasaan Kesultanan Buton masa itu dapat dibagi atas "pusat pemerintahan kesultanan" dan "daerah kekuasaan kesultanan". Pusat pemerintahan adalah Wolio atau lazim disebut Keraton Wolio. Wilayah ini merupakan tempat tinggal golongan penguasa kesultanan, sedangkan daerah kekuasaan menempati 70 wilayah kampung yang disebut kadie (Maulana,dkk.,2011:69-70).
Rudyansyah (1997: 44-53) dalam bukunya berjudul Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan menyatakan bahwa klasifikasi kelas penguasa dan kelas yang dikuasai dalam Kesultanan Buton, menjadikan struktur masyarakt Buton dalam tiga lapisan masyarakat, yakni (1) kaomu (bangsawan), (2) walaka (menengah), (3) papara (rakyat desa). Beberapa papara(rakyat) adalah pribumi dan sebagian orang adalah budak yang didatangkan dari luar untuk menambah jumlah penduduk desa. Menurut Susanto Zuhdi (2010:76) lapisan papara adalah orang jauh yang tidak diketahui asal usulnya. Lapisan paling bawah adalah budak atau batua yang berasal dari papara karena tidak membayar pajak. Ligtvoet (1878) dalam bukunya yang berjudul Beschrijving en Geshiedenis van Boeton yang dikutip oleh Schoorl (2003:3) menyatakan bahwa perdagangan budak sangat penting bagi Buton di abad ke-17 dan ke-18. Sementara perbudakan di zaman Kesultanan sekitar abad ke-15 dan dihapuskan ketika pemerintahan Sultan Laelangi /Sultan Buton ke-4 (1593-1631).
Orang Katobengke dalam struktur Kesultanan Buton tergolong kelas papara (rakyat). Sejak orde baru kalangan elite tradisional mengidentifikasikan mereka sebagai budak dengan ciri khas pakaian yang di tampal-tampal (kabhaleko) bodoh dan kotor. Tugas wanitanya sebagai pengasuh bayi bangsawan tetapi sering juga dijadikan sebagai the second sex yang keberadaanya tidak diperhitungkan. Bentuk kekerasan simbolik yang paling menonjol adalah penerapan tabu dat elite, seperti orang Katobengke tidak boleh kawin dengan kaomu dan walak dan tidak boleh melaksanakan ibadah haji. Kebijakan elite dalam pendidikan yang terkesan membatasi ruang mereka untuk tidak bebas memilih sekolah lanjutan. Beberapa anak Katobengke yang memiliki keiinginan tinggi untuk bersekolah terpaksa mereka harus menyembunyikan identitas mereka sebagai orang Katobengke. Diskriminasi dalam bentuk stereotipe negatif yang ditulis Tasfirin (2010:1) seperti kata-kata: Pakemu yitu pasae miana Katobengke artinya prilakumu itu seperti orang Katobengke. Sebaliknya, citra positif yang diberikan elite tradisional pada orang Katobengke berkaitan dengan kemampuan merawat dan menyembuhkan penyakit anak bangsawan, sehingga mereka lazim dipanggil atau disebut Naa Laode dan Maa Laode (Ruslan, 2005:71). Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2010:157) adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok subordinat sehingga hal itu sebagai sesuatu yang sah.
Tampaknya pada era orde baru birokrasi pemerintahan di Kota Baubau mewarisi birokrasi kolonial Belanda khusunya stigmatisasi terhadap orang Kotabengke. Sebagaimana Dafidson (2010:13) menyatakan bahwa orde baru melakukan pendekatan tangan besi terhadap rakyat. Kekerasan fisik rezim ABRI di Kota Baubau pada tahun 1969 berkaitan dengan penumpasan G30 S PKI. Orang Kotabengke menjadi sasaran keganasan tersebut dan mereka di tuduk terlibat G30 S PKI tanpa alasan yang jelas. Akibatnya hampir seluruh tokoh dan pemuda Kotabengke ditangkap dan dimasukkan ke penjara, tetapi sebagian diantaranya terpaksa melarikan diri keluar daerah Buton. Sejak reformasi berjalan, orang Katobengke mulai melakukan perlawanan terhadap sistem pengetahuan elite tradisional maupun kekerasan fisik.
Penelitian ini dilakukan oleh Promovendus Drs. La Ode Dirman, M.Si., sebagai syarat mendapatkan gelar Doktor di Program Doktor Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Disertasi tersebut diuji dalam sidang terbuka Promosi Doktor yang dilaksanakan pada hari Rabu, 21 Januari 2015. Menurut La Ode, penelitian ini bertujuan untuk memahami praktik perlawanan orang Kotabengke terhadap hegemoni elite berdasarkan pengalaman sejarah serta implikasiny
UDAYANA UNIVERSITY