Gede Yoga Kharisma Pradana : " TRADISI MAKOTEK DI DESA MUNGGU, BADUNG PADA ERA GLOBAL "
Senin, 18 Januari 2016. Program Pascasarjana kembali mengadakan sidang terbuka Promosi Doktor atas nama Promovendus Gede Yoga Kharisma Pradana, S.Sos.,Msi dari Program Doktor Kajian Budaya dengan disertasinya yang berjudul " TRADISI MAKOTEK DI DESA MUNGGU, BADUNG PADA ERA GLOBAL ". Acara sidang ini dipimpin oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
Dalam disertasinya dinyatakan bahwa Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual tolak bala bagi masyarakat di Desa Munggu, Badung. Tradisi tersebut dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya pada setiap hari raya Kuningan. Hingga pada era global, tradisi Makotek yang melibatkan banyak pihak dan komponen budaya masih tetap dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu. Hal itu merupakan tantangan bagi kehidupan mereka yang tidak menutup diri dari pengaruh modernisasi. Secara ideologis, kehidupan masyarakat pada era global akan cenderung sibuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar sesuai dengan zamannya. Hal itu menyebabkan mereka menempatkan ekonomi kapitalistik pada posisi sentral dan dominan dalam jaringan sosialnya. Dalam kehidupannya pun mereka akan cenderung melibatkan konstruksi pasar kapitalis lengkap dengan rangkaian relasi sosial, aliran komoditas, modal, teknologi, dan ideologi dari berbagai budaya belahan dunia. Kondisi itu membuat mereka sibuk mengejar dan berkompetisi memenangkan pertarungan dalam memperoleh keuntungan finansial. Namun di tengah-tengah kesibukannya mengarungi kehidupan pada era global, masyarakat Desa Munggu tetap melaksanakan tradisi Makotek. Mereka seakan tidak terpengaruh dengan adanya stigma bahwa tradisi Makotek identik dengan tindakan irasional, ortodok, dan lain sebagainya. Bahkan untuk itu mereka harus mengorbankan waktu, uang, dan lain sebagainya. Tetapi mereka tetap melaksanakan tradisi tersebut. Hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan.
Di Bali, banyak terdapat tradisi ritual tolak bala yang hingga pada era global masih tetap lestari. Beberapa di antaranya ada tradisi Geret Pandan di Desa Tenganan, Karangasem, tradisi Ngusaba Dangsil di Desa Sulahan, Bangli, tradisi Ngusaba Nini di Karangasem, tradisi Perang Tipat di Desa Kapal, tradisi Omed-omedan di Desa Sesetan, Badung, tradisi Masuryak di Desa Bongan, Tabanan, tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung, dan lain sebagainya. Namun di antara semua tradisi tersebut tradisi Makotek yang paling menarik untuk dikaji. Hal itu disebabkan karena hingga pada era global masyarakat Desa Adat Munggu yang terdiri atas tiga belas banjar, berjumlah kurang lebih 2000-an orang penduduk bisa melaksanakan tradisi ritual tolak bala tersebut secara berkelanjutan. Menurut tetua Desa Adat Munggu, pelaksanaan tradisi Makotek pada tahun 1920-an pemah ditiadakan. Karena alasan politik, pemerintah Belanda yang tengah menguasai Bali saat itu melarang masyarakat Desa Munggu melaksanakan tradisi tersebut. Namun, tidak berselang lama dikatakan bahwa masyarakat Desa Munggu mengalami musibah. Banyak warga mendadak sakit kemudian meninggal. Mereka meyakini bahwa kejadian itu ada kaitannya dengan ketidak dilaksanakannya tradisi Makotek. Atas kebijakan pemerintah Belanda, masyarakat Desa Munggu diijinkan kembali melaksanakan tradisi Makotek dengan syarat mereka tidak menggunakan tombak lagi dalam pelaksanaan tradisi ritual -tersebut, Sejak saat itu masyarakat Desa Munggu mengganti senjata tombak dengan kayu pulet dalam setiap pelaksanaan tradisi Makotek. Sebagai masyarakat yang telah maju dan berkesadaran kritis semestinya masyarakat Desa Munggu tidak lagi melaksanakan tradisi Makotek yang irasional itu untuk menyikapi permasalahan wabah penyakit pada era global. Tetapi kenyataannya, mereka tetap melaksanakan tradisi tersebut walaupun kini budaya mereka telah maju.
Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami secara benar tentang permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan tradisi Makotek di Desa Munggu pada era global meliputi hal-hal yang melatari, bagaimana mereka melaksanakan tradisi tersebut pada era global, apa relevansi, dan implikasinya bagi mereka hingga pada era global tetap melaksanakan tradisi Makotek.
Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai referensi bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan proses transmisi budaya yang berimplikasi bagi kelestarian budaya Bali pada era global. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan ditemukan model formatif pelaksanaan tradisi Makotek pada era global sebagai konsep untuk merevitalisasi modal budaya serupa yang terpuruk pada era global, sebagai dokumentasi tertulis, referensi bagi Dinas Kebudayaan Bali, Balai Pelestarian Budaya Tradisional Bali, dalam rangka pelestarian dan pengembangan tradisi Makotek berbasis kekuatan kultural kolektif pada era global. (pps.unud/IT)
UDAYANA UNIVERSITY