TAKSONOMI NOMINA ASPEK MAKANAN DAN MINUMAN KHAS MINAHASA

Dalam disertasi Rina P. Pamantung menyatakan, penelitian terhadap Minahasa sudah banyak dilakukan para ahli bahasa, baik dari dalam negeri maupun luar negeri (secara lokal, nasional, dan internasional). Namun, penelitian khusus terhadap nomina aspek makanan dan minuman khas Minahasa belum pernah dilakukan. Padahal, makanan dan minuman khas Minahasa dianggap sebagai salah satu aspek budaya asli Minahasa yang penting bila dilihat dari berbagai peninggalan budaya Minahasa yang masih bertahan saat ini. Selain itu, makanan dan minuman khas Minahasa terkait dengan perilaku sosial yang sangat khas untuk peristiwa tertentu dalam budaya, tetapi masih jarang ditulis secara ilmiah khususnya pada ilmu kebahasaan.

Kenyataan menunjukkan bahwa makanan dan minuman Minahasa merupakan  salah satu peninggalan budaya yang   kokoh dan   masih bertahan saat ini dengan pemunculan leksikon berupa nama makanan dan minuman khas asli Minahasa serta variasi dan modifikasinya yang tidak berkurang tetapi terus bertambah. Asumsi dasar adalah nama makanan dan minuman khas Minahasa terus bertambah sehingga ada variasi nama berupa kombinasi kata yang beranekaragam berdasarkan modifikasi. Fakta empiris menunjukkan bahwa ada keambiguan (tumpang tindih) pemunculan nama makanan dan minuman khas antara menu acara pesta yang masih mengandung budaya asli Minahasa seperti Endo wangko ’Hari besar’ atau “Pengucapan” dengan menu makanan dan minuman yang dikomersialkan seperti nama makanan dan minuman sebagai menu rumah makan, menu penginapan atau hotel, dan penjual keliling. Dengan kata lain, di satu sisi  makanan dan minuman khas Minahasa sebagai budaya asli Minahasa  masih muncul pada fungsi religi budaya, sebaliknya di sisi  lain, makanan dan minuman khas  Minahasa sudah muncul pada menu rumah makan sebagai menu biasa.

Menurut Rina, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nama atau istilah makanan dan minuman khas Minahasa. Secara khusus, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1) mengidentifikasi, mendeskripsi, dan menganalisis sistem penamaan makanan dan minuman yang muncul pada budaya Minahasa berdasarkan mitos atau cerita rakyatnya yang memiliki simbol dan nilai mitos yang berfungsi dan bermakna sebagai konsep budaya Minahasa; dan 2) menjelaskan dan menganalisis bentuk, fungsi, dan makna makanan dan minuman khas Minahasa pada taksonomi hierarkis dalam tataran linguistik.

Dari peneiltian yang dilakukan tersebut dapat dihasilkan bahwa bentuk, fungsi, makna dalam taksonomi nomina aspek makanan dan minuman khas Minahasa adalah sebagai berikut.

Penamaan benda berupa makanan dan minuman di daerah wilayah Minahasa berbeda dengan daerah lain karena ada yang homogen atau sama (mirip) atau heterogen (beragam atau tidak sama) dalam skala wilayah kecil atau luas, bahkan, ada variasi nama makanan dan minuman khas Minahasa yang muncul sebagai leksem (kata), frasa, dan klausa.

Klasifikasi makanan di Minahasa terdiri atas kan ’nasi’, sendeen ’sayur’, dan serza ’protein’  dirangkum menjadi   label makanan linulut vs non-linulut dan   label minuman cap-tikus vs  non-cap tikus. Talun ’hutan’ dan uma ’kebunmenjadi referensi atau sebagai sumber penamaan, misalnya, bulu ’bambu’  dan daging binatang buruan ( ngo’ atau yaki ’monyet’, kawok ’tikus berekor putih’, ular, wi’oo ’babi hutan’) untuk acara pesta.

Konsep budaya Minahasa secara mitologis yang mencakupi referensi  talun ’hutan’ dan uma ’kebunyang memiliki makna budaya atau kognitif dari Minahasa yang memunculkan beberapa seri komponen makna sebagai faktor parameter yang  memengaruhi  pemunculan nama makanan dan minuman khas Minahasa, yakni 1) bahan makanan, 2) cara memasak, 3) lokasi pembuatan makanan, 4) latar belakang pemakaian bahasa lokal di Minahasa,  5)  sejarah kedatangan etnis dan bahasanya di Minahasa, 6) manusia. Hasil  analisis data menunjukkan bahwa tipe relasi leksikal yang memiliki frekuensi paling sering muncul adalah sinonim atau kesinoniman dan hiponim di antara beberapa tautan makna atau relasi leksikal lain seperti polisemi, homonim, akronim, bahkan metafora  dalam penelurusan kategorisasi nama makanan dan minuman khas Minahasa secara linguistik. Komponen makna  bahan makanan dan lokasi pemakaian bahasa lokal di Minahasa  paling sering muncul pada relasi makna, khususnya sinonim atau kesinoniman bahkan pada metafora. Nama makanan dan minuman yang paling sering muncul adalah makanan sebagai perangkat leksikal linulut, woku, tinutuan, gohu, dan cap tikus.  

Aspek bentuk nama makanan dan minuman dikategorikan pada leksem tunggal atau monoleksem, leksem tunggal berafiks, paduan leksem yang terdiri atas dua leksem, dan  multileksem  sebagai frasa yang terdiri atas  tiga leksem atau lebih dan klausa. Ada pengecualian pada kasus ini,  yakni  ada paduan leksem yang terdiri atas leksem nomina dan diikuti oleh leksem nomina sebagai perulangan, misalnya tinutuan wik-wik. Nama leksem makanan yang berbentuk ganda adalah R W   dapat dikategorikan sebagai monoleksem sekaligus paduan leksem karena terdiri atas singkatan rintek wuuk. Nama minuman CCM dapat disebut monoleksem, ataupun paduan leksem karena berbentuk singkatan dari cap tikus campur minuman karena pengategorian ganda. Penamaan CCM memang disebut CCM  saja tetapi kadangkala orang juga menyebutkan kepanjangannya, yaitu cap tikus campur minuman.

Bentuk leksem nama minuman khas Minahasa yang terdiri atas monoleksem, yaitu pangi, sa’ut, saguer, sopi,  cacapa,  dan saledo. Sementara itu, paduan leksem, yaitu woku daong, sayor pait,  cap tikus,  dan  rica rodo. Woku daong dan sayor pait adalah kata majemuk. Sebaliknya, cap tikus dan rica rodo adalah frasa.

Infiks –in- sering muncul pada  pembentukan kata (afiksasi),  misalnya,  tinutu’an, kinetor, dan tinoransak yang merupakan derivasi. Infiks –in- merupakan  afiks yang merubah kelas kata dari verba menjadi nominaVariasi bentuk pada satuan leksem nama makanan dan minuman khas Minahasa, misalnya woku dengan komponen makna cara memasak dan alat yang digunakan pada memasak, sehingga muncul woku daong, woku blanga, dan babi woku.

Aspek fungsi dari makanan dan minuman khas Minahasa secara budaya pada zaman dahulu sebagai ”mediator” antara manusia dan Yang Empunya Alam,  Opo Niempu. Fungsi itu mengalami transformasi dinamis  menjadi simbol ”berkat (ucapan syukur)” terkait dengan fungsi konsiderasi kemanfaatan secara religi atau sosial berdasarkan pemikiran budaya Minahasa masa kini adalah budaya pesta dan nonpesta. Fungsi sosial ekonomi tampak pada pemunculan menu makanan linulut dan non-linulut yang dijual di rumah makan, hotel, atau penjual ibu-ibu keliling (Desa Tinoor dan Warembungan), misalnya  pangi, tinoransak, tinutu’an,  ragey, dan gohu.

Berbagai stereotip tentang suatu hal berupa pola leksikalisasi dari makanan dan minuman khas Minahasa yang memiliki makna denotatif dan konotatif ataupun leksikal yang tampak atau muncul pada tautan makna berupa sinonim, polisemi, homonim, hiponim, akronim sampai pada metafora dilahirkan oleh mitos budaya Minahasa.  Sinonim yang ditemukan pada nama makanan posana, yakni ikang babi bungkus daong pangi, gorem, dan kinetor. Nama makanan berlabel non-linulut tinutuan bersinonim dengan peraal, pedal, sendeen, winiran, tinutu’an wik-wik, dan tinape.Tumpang tindih perbendaharaan kata berupa nama makanan ikang bulu atau linulut pada pesta, warung makan, penginapan, dan penjual keliling.

Hiponim ditemukan pada nama makanan linulut dan tinutu’an. Seri komponen makna yang muncul pada perangkat leksikal atau satuan leksikal linulut dan tinutu’an adalah bahan dasar makanan, lokasi pembuatan, dan pemakaian bahasa lokal di Minahasa. Komponen makna dengan ciri pembeda adalah komponen makna skala wilayah administrasi berupa kecamatan dan desa. Perangkat leksikal   linulut  terdiri atas   tinoransak, pangi, sa’ut, posana, kinetor, koles, winarat, ikang babi bungkus daong pangi, sayor pait, kotei, ayam pake leilem isi di bulu, dan babi utang isi di bulu  berdasarkan  komponen makna cara memasak yang dimasukkan ke dalam bambu dan dibakar.

Pada perangkat leksikal atau satuan leksikal tinutu’an yang mencakupi tinutu’an, pelaar, pedaal, winiran, dan sende’en bervariasi karena lokasi pembuatan makanan berdasarkan pemakaian bahasa yang berbeda, sebaliknya   antara pelaar dan pedal ditemukan ciri komponen pembeda berupa skala wilayah administrasi dan bahan makanan berupa jenis sayuran. Pada pelaar dan pedal, konsonan /l/ dan /d/ menjadi ciri pembeda yang mengacu pada skala wilayah administrasi berupa kecamatan dan desa di wilayah Kabupaten Minahasa, khususnya wilayah Kawangkoan dengan Desa Tombasian. Selain itu, bila dicermati dari komponen makna tambahan berupa referen tanaman hutan berupa sayuran maka sayur gedi menjadi ciri pembeda  antara leksem pedal dan peraal, sehingga nama makanan dengan makna denotatif ’bubur sayur’ memiliki ciri pembeda + sayur gedi. Pada frasa tinutu’an wik-wik ditemukan ciri komponen pembeda jenis kelamin wanita berupa ibu yang baru melahirkan yang mengacu pada wik-wik dengan jenis sayuran  daun pepaya.

Variasi bentuk terjadi pada pasangan relasi woku  yang terdiri atas perangkat leksikal woku daong, woku blanga, dan woku woka. Variasi bentuk leksikal terjadi karena substitusi  yang terjadi pada pasangan tidak tetap atau tidak permanen bersifat paralelisme dapat digunakan beberapa cara masak dengan alat media yang berbeda. Pada leksem gohu, jenis buah yang digunakan sebagai komponen bahan makanan dapat disubstitusikan atau digantikan sesuai dengan pembuat makanan. Jenis buah dapat berganti dari pepaya menjadi ketimun, wortel, blans, bahkan diubah menjadi jenis ikan. Namun, nama yang muncul tetap sama, yakni gohu. Variasi leksikal pada kosakata nama makanan dan minuman khas Minahasa sering tampak pada modifikasi jenis bahan makanan berupa daging, ikan, dan buah sebagai bentuk leksikal tambahan saja bukan pada bentuk leksikal (dasar) inti.

Lanjut Rina, dalam penelitiannya ditemukan temuan baru yang terdiri atas (1) temuan teoretis dan (2) temuan empiris. Kedua temuan tersebut dapat  disajikan sebagai berikut; Pertama,  teori medan makna dapat menjadi salah satu alat utama dalam penemuan data leksem makanan dan minuman khas Minahasa sebagai bentuk leksikal yang bervariasi.

Kedua, secara empiris  penelitian ini menemukan hal-hal baru yang tersingkap terkait dengan makanaan dan minuman khas Minahasa. Posivitisme pascamodern merupakan konsep dan alat analisis yang dapat  menjelaskan fenomena kebuda­yaan dalam konteks makanan dan minuman.

Share This Post:
-->